Minggu, 07 Juni 2015

Strategi Pembelajaran Afektif



MAKALAH
STRATEGI PEMBELAJARAN AFEKTIF
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Strategi Pembelajaran dengan dosen pengampu Ibu Dwi Rachmayani, M.Pd



Disusun Oleh :

Jumiati ( 2013820098 )



PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2014/2015





KATA PENGANTAR


            Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME atas limpahan karunia, taufik, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Strategi Pembelajaran Afektif”. Penyusunan makalah ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang strategi belajar mengajar untuk meningkatkan pengetahuan tentang Strategi Pembelajaran bagi calon pendidik.
            Dalam penyusunan makalah ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu baik secara materi maupun moril dalam penyusunan makalah ini.
            Penulis menyadari dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kedepannya. Semoga makalah ini bermanfaat untuk pembaca.









Jakarta, Oktober 2014



Penulis

 




BAB I
PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang
          Strategi pembelajaran afektif merupakan suatu metode dalam proses pembelajaran yang menekankan pada nilai dan sikap yang diukur, oleh karena itu menyangkut kesadaran seorang yang tumbuh dari dalam.
          Dalam pengaplikasian terhadap pembelajaran yang diberikan guru, dalam pemberian contoh terhadap yang diberikan guru hendaknya siswa difasilitasi dengan lingkungan yang baik, saya lihat sebagian sekolah, bahwasanya lingkungan sekitar sekolah tidak nyaman untuk melakukan pembelajaran yang afektif, dan juga lingkungan masyarakat, maka dari itu pembentukan sikap akan sulit dilaksanakan.
          Misalnya ketika anak diajarkan tentang keharusan bersifat jujur dan disiplin, maka sifat tersebut akan sulit diinternalisasi manakala lingkungan diluar sekolah anak banyak melihat prilaku-prilaku ketidakjujuran dan ketidakdisiplinan. Walaupun guru sekolah begitu keras menekankan pentingnya sikap tertib berlalu lintas.
          Maka sikap tersebut akan sulit diadopsi oleh anak manakala ia melihat begitu banyak orang-orang yang melanggar lalu lintas, demikian juga walaupun disekolah guru-guru menerangkan dan menegaskan perlunya bagi anak untuk berkata sopan dan halus disertai contoh prilaku guru, akan tetapi sifat itu sulit diterima oleh anak manakala diluar sekolah begitu banyak manusia yang berkata kasar dan tidak sopan.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian dari strategi pembelajaran afektif ?
2.      Apa saja model-model dari pembelajaran afektif ?
3.      Apa kelemahan dari pembelajaran afektif ?
4.      Bagaimana cara menanggulangi kelemahan dari strategi pembelajaran afektif ?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui pengertian strategi pembelajaran afektif.
2.      Mengetahui model-model dari strategi pembelajaran afektif.
3.      Mengetahui kelemahan dari strategi pembelajaran afektif.
4.      Mengetahui cara menanggulangi kelemahan strategi pembelajaran afektif.
BAB II
PEMBAHASAN


A.       Pengertian Strategi Pembelajaran Afektif
       Menurut Sanjaya, (2007:126). Dalam dunia pendidikan, strategi diartikan sebagai perencanaan yang berisi tentang rangkaian kegiatan yang didesain untuk mencapi tujuan pendidikan tertentu. sedangkan menurut Kemp (1995) menjelaskan bahwa strategi pembelajaran adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien, dan menurut Dick and Caret (1985) mengartikan strategi pembelajaran adalah suatu set materi dan prosedur pembelajaran yang digunakan secara bersama-sama untuk menimbulkan hasil belajar pada siswa.
       Strategi Pembelajaran Afektif memang berbeda dengan strategi pembelajaran kognitif dan keterampilan. Afektif berhubungan dengan nilai (value), yang sulit diukur, oleh sebab itu menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam diri siswa. Strategi pembelajaran afektif adalah strategi yang bukan hanya bertujuan untuk mencapai pendidikan kognitif saja, akan tetai juga bertujuan untuk mencapai dimensi lainya. Yaitu sikap dan keterampilan afektif berhubungan dengan volume yang sulit di ukur karena menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam, afeksi juga dapat muncul dalam kejadian behavioral yang diakibatkan dari proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Dalam batasan tertentu memang afeksi dapat muncul dalam kejadian behavioral, akan tetapi penilaiannya untuk sampai kepada kesimpulan yang bisa dipertanggungj awapkan membutuhkan ketelitian dan observasi yang terus menerus, dan hal ini tidaklah mudah untuk dilakukan. Apabila menilai perubahan sikap sebagai akibat dari proses pembelajaran yang dilakukan guru disekolah kita tidak bisa menyimpulkan bahwa sikap anak itu baik, misalnya dilihat dari kebiasaan bahasa atau sopan santun yang bersangkutan, sebagai akibat dari proses pembelajaran yang dilakukan guru. Mungkin sikap itu terbentuk oleh kebiasaan guru dalam keluarga dan lingkungan sekitar.
          Strategi pembelajaran afektif pada umumnya menghadapkan siswa pada situasi yang mengandung konflik atau situasi yang problematis, dan pengajar dapat membina dalam menyelesaikan masalah tersebut sesuai dengan tingkat nilai kemampuan masing-masing.



B.     Hakikat Pendidikan Nilai dan Sikap

          Agar lulusan pendidikan  memiliki integritas pribadi di bidang keilmuannya secara optimal, disamping menguasai substansi bidang keilmuan pada sisi kognitif dan psikomotorik, diperlukan pula penguasaan pada aspek-aspek afektif. Studi tentang pembelajaran untuk aspek-aspek afektif dapat memberikan kontribusi yang berarti, sekalipun studi ini belum cukup menjamin terbentuknya integritas pribadi yang ideal. Studi tentang pembelajaran aspek-aspek afektif tidak bersifat teknis melainkan refleksif, yaitu suatu  refleksi tentang nilai-nilai dan atau tema-tema yang berkaitan dengan perilaku manusia terutama  pada pengembangan aspek perasaan, sikap, nilai dan emosi.
          Nilai adalah suatu konsep yang berada dalam pikiran manusia yang sifatnya tersenbunyi, tidak berada di dalam dunia yang empiris. Nilai berhubungan dengan pandangan seseorang tentang baik dan buruk, indah dan tidak indah, layak dan tidak layak, adil dan tidak adil, dan lain sebagainya. Pandangan seseorang tentang senua itu tidak bisa diraba, kita hanya mungkin dapat mengetahuinya dari perilaku yang bersangkutan. Oleh karena itulah nilai pada dasarnya standar perilaku, ukuran yang menentukan atau kriteria seseorang tentang baik dan buruk, indah dan tidak indah, layak dan tidak layak, adil dan tidak adil, dsb. Sehingga standar itu yang akan mewarnai perilaku sesorang. Dengan demikian pendidikan nilai pada dasarnya merupakan proses penanaman nilai kepada peserta didik yang diharapkan, oleh karenanya siswa dapat berperilaku sesuai dengan pandangan yang dianggapnya baik dan tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku.
          Sementara itu Douglas Graham (Gulo, 2002) melihat empat faktor yang merupakan dasar kepatuhan seseorang terhadap nilai tertentu yaitu :
a.       Normativist, biasanya kepatuhan pada norma-norma dan hukum. Selanjutnya dikatakan bahwa kepatuhan ini terdapat dalam tiga bentuk, yaitu :
1)      Kepatuhan pada nilai atau norma itu sendiri.
2)      Kepatuhan pada proses tanpa memperdulikan normanya sendiri.
3)      Kepatuhan pada hasilnya atau tujuan yang diharapkannya dari peraturan itu.
b.      Integralist, yaitu kepatuhan yang didasarkan kepada kesadaran dengan pertimbangan-pertimbangan yang rasional.
c.       Fenomenalist, yaitu kepatuhan berdasarkan suara hati atau sekedar basa-basi.
d.      Hedonist, yaitu kepatuhan berdasarkan kepentingan diri sendiri.

          Dari keempat faktor yang menjadi dasar kepatuhan setiap individual, tentu saja yang kita harapkan adalah kepatuhan yang bersifat normativist, karena kepatuhan semacam itu adalah kepatuhan yang didasari kesadaran akan nilai, tanpa memperdulikan apakah perilaku itu menguntungkan untuk dirinya atau tidak.
          Selanjutnya dalam sumber yang sama dijelaskan, dari empat faktor ini terdapat lima tipe kepatuhan, yaitu :
a.       Otoritarian, yaitu suatu kepatuhan tanpa reserve atau kepatuhan yang ikut-ikutan.
b.      Conformist, kepatuhan tipe ini mempunyai tiga bentuk, yaitu :
1)      Conformist Directed, yaitu penyesuaian diri terhadap masyarakat atau orang lain.
2)      Conformist Hedonist, yakni kepatuhan yang berorientasi pada “untung-rugi”.
3)      Conformist Integral, adalah kepatuhan yang menyesuaikan kepentingan diri sendiri dan masyarakat.
c.       Compulsive Deviant, yaiut kepatuhan yang tidak konsisten.
d.      Hedonik Psikopatik, yaitu kepatuhan pada kekayaan tanpa memperhitungkan kepentingan orang lain.
e.       Supramoralist, yaitu kepatuhan karena keyakinan yang tinggi terhadap nilai-nilai moral.
          Dalam masyarakat yang cepat berubah seperti dewasa ini, pendidikan nilai bagi anak merupakan hal yang sangat penting. Hal ini disebabkan pada era global ini, anak akan dihadapkan pada banyak pilihan tentang nilai yang mungkin dianggapnya baik. Penukaran dan pengikisan nilai-nilai suatu masyarakat dewasa ini akan mungkin terjadi secara terbuka. Nilai-nilai yang dianggap baik oleh suatu kelompok masyarakat bukan tak mungkin akan menjadi luntur digantikan oleh nilai-nilai baru yang belum tentu cocok dengan budaya masyarakat.
          Komitmen seseorang terhadap suatu nilai tertentu terjadi melalui pembentukan sikap yakni kecendrungan seseorang terhadap suatu objek misalnya: jika seseorang berhadapan dengan suatu objek, ia akan menunjukkan gejala senang atau tidak senang, suka atau tidak suka terhadap objek tersebut.  Gulo (2005) menyimpulkan, tentang nilai sebagai berikut:
§  Nilai tidak bisa diajarkan tapi diketahui dari penampilannya
§  Pengembangan dominan afektif pada nilai tidak bisa dipisahkan dari aspek kognitif
§  Masalah nilai adalah masalah emosional dan karena itu dapat berkembang sehingga bisa dibina
§  Perkembangan nilai atau moral

            Sikap merupakan suatu kemampuan internal yang berperanan sekali dalam mengambil tindakan (action), lebih-lebih apabila terbuka berbagai kemungkinan untuk bertindak atau tersedia beberapa alternatif (winkel 2004). Pernyataan senang atau tidak senangnya seseorang terhadap objek yang dihadapinya, akan sangat dipengaruhi oleh tingkat pemahamannya (aspek kognitif) terhadap objek tersebut. Oleh karena itu tingkat penalaran (kognitif) terhadap suatu objek dan kemampuan untuk bertindak terhadapnya (psikomotorik) turut menentukan sikap seseorang terhadap objek yang bersangkutan.

C.    Proses Pembentukan Sikap
1.      Pola Pembiasaan
      Menurut penelitian Watson seorang psikolog cara belajar sikap yang disebabkan dengan kebiasaan dapat menjadi dasar penanaman sikap tertentu terhadap suatu objek. Dalam proses pembelajaran di sekolah, baik secara disadari maupun tidak, guru dapat menanamkan sikap tertentu kepada siswa melalui proses pembiasaan misalnya, siswa yang setiap kali menerima perlakuan yang tidak mengenakan dari guru seperti mengejek atau menyinggung perasaan anak, maka lama-kelamaan akan timbul perasaan kesal dari anak tersebut yang pada akhirya dia tidak menyukai guru dan mata pelajarannya.
      Belajar membentuk sikap melalui pembiasaan juga dilakukan oleh Skinner melalu teorinya “operant conditioning” proses pembentukan sikap melalui pembiasaan yang dilakukan Watson berbeda dengan proses pembiasaan sikap yang dilakukan Skinner. Skinner menekankan pada proses peneguhan respons anak, dimana setiap kali anak menunjukan prestasi yang baik diberikan penguatan dengan cara memberikan hadiah atau prilaku yang menyenangkan.Dari Watson dan Skinner, menurut kelompok kami dapat diambil kesimpulan bahwa proses pembentukan sikap dengan pola pembiasaan bukan hanya melalui proses pembiasaan yang dilakukan secara terus menerus melainkan juga memberikan penguatan sehingga anak akan berusaha dan bersemangat untuk meningkatkan sikap positifnya.
2.      Modeling
      Pembelajaran sikap seseorang yang dilakukan melalui proses modeling yaitu pembentukan sikap melalui proses asimilasi atau proses mencontoh. Proses modeling ini adalah proses peniruan anak terhadap orang lain yang menjadi idolanya atau orang yang dihormatinya yang dimulai rasa kagum. Salah satu karakteristik anak didik yang sedang berkembang adalah keinginannya untuk melakukan peniruan (imitasi). Hal yang ditiru itu adalah perilaku-perilaku yang diperagakan atau didemonstrasikan oleh orang yang menjadi idolanya. Prinsip peniruan ini yang dimaksud dengan modeling.
      Proses penanaman sikap anak terhadap suatu objek melalui proses modeling pada mulanya dilakukan secara mencontoh, namun anak perlu diberi pemahaman mengapa hal itu dilakukan. Misalnya, guru perlu menjelaskan mengapa kita harus berpakaian bersih atau mengapa kita harus telaten menjaga dan memelihara tanaman.

D.    Model Strategi Pembelajaran Sikap
          Setiap startegi pembelajaran sikap pada umumnya menghadapkan siswa pada situasi yang mengandung konflik atau situasi yang problematic. Melalui situasi ini diharapkan siswa dapat mengambil keputusan berdasarkan nilai yang dianggapnya baik, dibawah ini disajikan beberapa model strategi pembelajaran pembentukan sikap:
a.    Model konsiderasi
      Model konsiderasi (the condiration model) dikembangkan oleh Mc.Paul, seorang humanis, paul menganggap bahwa pembentukan moral tidak sama dengan pengembangan kognitif yang rasional. Pembelajaran moral siswa menurutnya adalah pembentukan kepribadian bukan pengembangan intelektual. Oleh sebab itu, model ini menekankan kepada strategi pembelajaran yang dapat membentuk kepribadian.
      Tujuannya adalah agar siswa menjadi manusia yang memiliki kepedulian terhadap orang lain. Kebutuhan yang fundamental pada manusia adalah bergaul secara harmonis dengan orang lain, saling memberi dan menerima dengan penuh rasa cinta dan kasih sayang. Dengan demikian pembelajaran sikap pada dasarnya adalah membantu anak agar dapat mengembangkan kemampuan agar bisa hidup bersama secara harmonis, peduli dan merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain (tepo salero).
      Atas dasar asumsi diatas guru harus menjadi model didalam kelas dalam memperlakukan setiap siswa dengan rasa hormat, menjauhi sikap otoriter. Guru perlu menciptakan kebersamaan, saling membantu, saling menghargai dan lain sebagainya.
      Simplementasi model konsideransi guru dapat mengikuti tahapan pelajaran seperti dibawah ini:
a)      Menghadapkan siswa pada suatu masalah yang mengandung konflik, yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Ciptakan situasi “seandainya siswa mengalami masalah tersebut”.
b)     Menyuruh siswa untuk menganalisis situasi masalah melihat bukan hanya yang tampak, tapi juga yang tersirat dalam permasalahan tersebut, misalnya perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang lain.
c)      Menyuruh siswa untuk menuliskan tanggapannya terhadap permasalahan yang dihadapi
d)     Mengajak siswa untuk menganalisis respon orang lain serta membuat kategori dari setiap respon yang diberikan siswa
e)      Mendorong siswa merumuskan akibat atau konsekuensi dari setiap tindakan yang diusulkan siswa.
f)       Mengajak siswa untuk memandang permasalahan dari berbagai sudut pandang (interdisipliner) untuk menambah wawasan agar mereka dapat mengimbang sikap tertentu sesuai dengan nilai yang dimilikinya.
g)      Mendorong siswa agar merumuskan sendiri tindakan yang harus dilakukan sesuai dengan pilihannya berdasarkan pertimbangannya sendiri.

b.   Model pengembangan kognitif
     Model pengembangan kognitif (the cognitive development model) dikembangkan oleh Lawrence Kohlberg. Model ini banyak diilhami oleh pemikiran jhon dewey dan jean piaget yang berpendapat bahwa perkembangan manusia terjadi sebagai proses dari restrukturisasi kognitif yang berlangsung secara berangsur-angsur menurut urutan tertentu. Menurut Kohlberg, moral manusia itu berkembang melalui tiga tingkat, dan setiap tingkat terdiri dari dua tahap:
1)   Tingkat prakonvensional
     Pada tingkat ini setiap individu memandang moral berdasarkan kepentingan sendiri artinya pertimbangan moral berdasarkan pada pandangannya secara individual tanpa menghiraukan rumusan dan aturan yang dibuat oleh masyarakat, pada tingkat para konvensional ini terdiri atas dua tahap:
a.    Orientasi Hukum dan Kepatuhan.
     Pada tahap ini prilaku anak didasarkan kepada konsekuensi fisik yang akan terjadi, artinya anak hanya berpikir bahwa prilaku yang benar itu adalah prilaku byang tidak akan mengakibatkan hukuman. Dengan demikian setiap peraturan harus dipatuhi agar tidak menimbulkan konsekuensi negative.


b.    Orientasi Instrument – Relatif
     Pada tahap ini prilaku anak didasarkan kepada rasa “adil” berdasarkan aturan permainan yang telah disepakati. Dikatakan adil manakala orang membalas prilaku yang dianggap baik. Dengan demikian prilaku itu didasarkan kepada saling menolong dan saling memberi.
2)   Tingkat Konvensional
     Pada tahap ini anak mendekati masalah didasarkan pada hubungan individu masyarakat. Kesadaran dalam diri anak mulai tumbuh bahwa prilaku itu sesuai dengan norma-norma dan aturan yang berlaku dimasyarakat, dengan demikian pemecahan masalah itu sesuai dengan norma masyarakat atau tidak. Pada tingkat konvensional itu mempunyai dua tahap:
a.    Keselarasan Interpersonal
     Pada tahap ini ditandai dengan setiap prilaku yang ditampilkan individu yang didorong oleh keinginan untuk memenuhi harapan orang lain. Kesadaran individu mulai tumbuh bahwa ada orang lain diluar dirinya untuk berprilaku sesuai dengan harapan. Artinya anak sadar bahwa ada hubungan antara dirinya dengan orang lain. Dan hubungan itu tidak boleh rusak.
b.    Sistem Social dan Kata Hati
     Pada tahap ini prilaku individu bukan berdasarkan pada dorongan untuk memenuhi harapan orang lain yang dihormatinya, akan tetapi berdasarkan pada tuntutan dan harapan masyarakat, ini berarti telah terjadi pergeseran dari kesadaran individu kepada keadaran social yang mengatur prilaku individu.
3)   Tingkat postkonvensional
     Pada tingkat ini rilaku individu berdasarkan pada kepatuhan terhadap norma-norma masyarakat yang berlaku, akan tetapi didasari oleh adanya kesadaran sesuai dengan nilai-nilai yang dimilikinya secara individu, seperti pada tingkatan sebelumnya, pada tingkat ini terdiri juga atas dua tahap:
a.    Kontrak Social
       Pada tahap ini prilaku individu berdasarkan pada kebenaran-kebenaran yang diakui dimasyarakat. Kesadaran individu untuk berprilaku tumbuh karena kesadaran untuk menerapkan prinsip-prinsip social. Dengan demikian kewajiban moral dipandang sebagai kontrak social yang harus dipatuhi bukan sekedar pemenuhan system nilai.

b.   Prinsip Etis yang Universal
     Pada tahap terakhir, prilaku manusia didasrkan pada prinsip-prinsip universal. Segala macam tindakan bukan hanya didasarkansegala kontrak social yang harus dipatuhi, akan tetapi didasarkan kepad suatu kewajiban sebagai manusia. Setiap individu wajib menolong orang lain. Apaka orang itu sebagai orang yang kita benci ataupun tidak, apakah orang itu kita cintai atau tidak,, orang yang kita suka atau tidak, pertolongan yang diberikan bukan didasarkan pada kesadaran yang bersifat universal.
     Sesuai dengan prinsip bahwa moral terjadi secara bertahap, maka strategi pembelajaran model kohleberg diarahkan untuk membantu agar setiap individu meningkat dalam perkembangan moralnya.


c. Teknik Mengklarifikasi Nilai
     Teknik mengklasifikasi nilai (value clarivication technique) atau sering disingkat VCT dapat diartikan sebagai teknik pengajaran untuk membantu siswa dalam mencari dan menentukan status nilai yang dianggap baik dalam menghadapi suatu persoalan melalui proses menganalisis nilai yang sudah ada dan tertanam dalam diri siswa.
     Kelemahan yang sering terjadi dalam proses pembelajaran nilai atau sikap adalah poses pembelajaran yang dilakukan secara langsung oleh guru, artinya guru menanamkan nilai-nilai yang dianggapnya baik tanpa memperhatikan nilai yang sudah tertanam dalam diri siswa, akibatnya sering terjadi benturan dan konflik dalam diri siwa karena ketidak cocokan antara nilai lama yang sudah terbentuk dengan nilai baru yang ditanamkan oleh guru.
     Siswa sering sering mengalami kesulitan dalam menyelaraskan nilai lama yang sudah terbentuk dengan nilai baru yang ditanamkan oleh guru. Salah satu karakteristik VCT sebagai suatu model dalam pembelajaran siap adalah proses penamaan nilai yang dilakukan melalui proses analisis nilai yang sudah ada. Sebelumnya dalam diri siswa kemudian menyelaraskannya dengan nilai-nilai baru hendak ditanamkan.
VCT sebagai suatu model dalam strategi pembelajaran moral VCT bertujuan: 
1)      Untuk mengukur atau mengetahui tingkat kesadaran siswa terhadap nilai.
2)      Membina kesadaran siswa tentang nilai-nilai yang dimilikinya, baik tingkatan maupun sifatnya (positif atau negatif) untuk kemudian dibina kearah peningkatan dan pembetulannya.
3)      Untuk menanamkan nilai-nilai tertentu kepada siswa melalui cara yang rasional diterima siswa, sehingga pada akhirnya nilai tersebut menjadi milik siswa.
4)      Melatih siswa bagaimana cara menilai, menerima serta mengambil keputusan terhadap suatu persoalan dalam hubungannya dengan kehidupan sehari-hari dimasyarakat.
John jarolimex (1974) menjelaskan langkah pembelajaran dengan VCT dalam tujuh tahap yang dibagi kedalam tiga tingkatan, setiap tingkatan dijelaskan dalam tahap ini.:
a)      Kebebasan memilih
Pada tingkatan ini terdapat tiga tahap:
1.      Memilih secara bebas, artinya kesempatan untuk menentukan pilihan yang menurutnya baik, nilai yang dipaksakan tidak menjadi miliknya secara penuh.
2.      Memilih dari beberapa alternative, artinya untuk menentukan pemilihan dari beberapa alternative pilihan secara bebas.
3.      Memilih setelah dilakukan analisis pertimbangan konsekuensi yang akan timbul sebagai akibat pilihannya.

b)     Menghargai
Terdiri dari dua tahap pembelajaran:
1.      Adanya perasaan senang dan bangga dengan nilai yang menjadi pilihannya, sehingga nilai tersebut akan menjadi bagian integral dari dirinya.
2.      Menegaskan nilai yang sudah menjadi bagian integral dalam dirinya didepan umum, artinya bila kita menganggap nilai itu suatu pilihan, maka kita akan berani dengan penuh kesadaran untuk menunjukkan didepan orang lain.

c)      Berbuat
Terdiri atas:
1.    Kemauan dan kemampuan untuk mencoba melaksanakannya.
2.    Mengulangi prilaku sesuai dengan nilai pilihannya, artinya nilai yang menjadi pilihan itu harus tercermin dalam kehidupan sehari-hari.
VCT menekankan bagaimana sebenarnya seorang membangun nilai yang menurut anggapannya baik, pada gilirannya nilai-nilai tersebut akan mewarnai prilakunya dalam kehidupan sehari-hari dimasyarakat. Dalam praktis pembelajaran, VCT dikembangkan melalui proses dialog antara guru dan siswa, proses tersebut hendaknya berlangsung dalam suasana langsung dan terbuka, sehingga setiap siswa dapat mengungkapkan secara bebas perasaannya, beberapa yang harus diperhatikan guru dalam mengimplementasikan VCT melalui proses dialog:
a.       Hindari penyampaian pesan melalui proses pemberian nasehat, yaitu pemberian pesan-pesan moral yang menuntut guru dianggap baik
b.      Jangan memaksa siswa untuk memberi respon tertentu apabila memang siswa menghendakinya
c.       Usahakan dialog dilakukan secara bebas dan terbuka, sehingga siswa akan mengungkapkan perasaannya secara jujur dan apa adanya
d.      Dialog dilaksanakan kepada individu, bukan kepada kelompok kelas
e.       Hindari respon yang dapat menyebabkan siswa terpojok sehingga ia menjadi despensif
f.       Tidak mendesak siswa pada pendirian tertentu
g.      Jangan mengorek alasan siswa lebih dalam

E.     Kesulitan dalam Pembelajaran Afektif
       Disamping aspek pembentukan kemampuan intelektual untuk membentuk kecerdasan peserta didik dan pembentukan keterampilan untuk mengembangkan kompetensi agar peserta didik memiliki kemampuan motorik, maka pembentukan sikap peserta didik merupakan aspek yang tidak kalah pentingnya. Dalam proses pendidikan disekolah proses pembelajaran sikap kadang-kadang terabaikan. Hal ini disebabkanoleh proses pembelajaran dan pembentukan akhlak memiliki beberapa kesulitan.
       Pertama, Proses pendidikan sesuai dengan kurikulum yang berlaku cenderung diarahkan untuk pembentukan intelektual. Sehingga keberhasilan proses pendidikan dan pembelajaran ditentukan oleh kriteria kemampuan kognitif. Akibatnya upaya guru diarahkan kepada bagaimana agar anak dapat mengetahui sejumlah pengetahuan sesuai dengan standard kurikulum. Hal ini dapat dilihat dari berbagai macam bentuk evaluasi yang dilakukan baik evaluasi tingkat sekolah, tingkat wilayah maupun tingkat nasional diarahkan kepada kemampuan anak dalam menguasai materi pelajaran. contohnya pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan yang seharusnya diarahkan kepada tingkat pembentukan moral dan sikap, tapi karena keberhasilannya diukur dari kemampuan intelektual maka evaluasi pun lebih banyak mengukur kemampuan penguasaan materi pelajaran dalam bentuk kognitif.
       Kedua, sulitnya melakukan kontrol karena banyak faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan sikap seseorang. Pengembangan kemampuan sikap baik melalui proses pembiasaan maupun modeling bukan hanya ditentukan oleh faktor guru tetapi juga faktor lain, terutama faktor lingkungan.
       Ketiga, keberhasilan pembentukan sikap tidak dapat dievaluasi dengan segera. Berbeda dengan pembentukan aspek kognitif dan aspek keterampilan yang hasilnya dapat diketahui setelah proses pembelajaran berakhir. Sementara keberhasilan pembentukan sikap dapat dilihat dengan rentan waktu yang cukup panjang karena sikap berhubungan dengan internalisasi nilai yang memerlukan proses yang lama.
       Keempat, pengaruh kemajuan tekhnologi, khususnya kemajuan tekhnologi informasi yang menyuguhkan aneka pilihan program acara, berdampak pada pembentukan karakter anak. Tidak bisa kita pungkiri, program televisi , misalnya yang banyak menanyangkan program acara produksi luar yang memiliki latarbelakang budaya yang berbeda. Maka secara perlahan tapi pasti budaya asing yang belum tentu cocok dengan budaya lokal merembes dalam setiap relung kehidupan, menggeser nilai-nilai lokal sebagai nilai luhur yang mestinya ditumbuhkembangkan, sehingga pada akhirnya membentuk norma baru yang mungkin tidak sesuai dengan nilai dan norma masyarakat yang berlaku.

F.     Cara mengatasi Kesulitan dalam Pembelajaran Afektif
       Dalam mengatasi kesulitan-kesulitan pembelajaran afektif diatas terdapat beberapa cara yang dapat diterapkan agar kesulitan-kesulitan tyersebut dapat diminimalisir dan bahkan diatasi dengan baik. Cara-cara mengatasinya adalah :
       Pertama, Pendidikan yang ada selama ini sesuai dengan kurikulum yang digunakan untuk mengukur kemampuan intelektual anak dari pada kemampuan afektif, akan tetapi kemampuan dalam bersikap pun tidak kalah penting harus dimiliki anak, untuk apa memiliki generasi muda yang pintar akan tetapi perilakunya tidak mencerminkan orang yang memiliki intektual. Pendidikan agama dan kewarganegaraan sampai saat ini merupakan pendidikan yang wajib diberikan pada anak didik, karena dengan pendidikan agama dan moral dapat mengontrol perilaku anak agar tidak cepat terjerumus pada perilaku yang buruk tetapi sangat popular, akibat kemajuan zaman dan teknologi. Kesadaran yang harus dimiliki diri anak yang sangat baik ditanamkan sejak dini adalah sesuatu sikap yang sangat tepat dalam memfilter perilaku anak, anak akan memahami cara berperilaku saat anak mampu membedakan mana sikap yang baik dan mana sikap yang buruk bagi dirinya.
       Kedua, Peran dari guru dan orang tua serta lingkungan sangat menentukan perilaku yang akan dikeluarkan atau dicontoh oleh siswa. Guru mampu memberikan pembelajaran yang intelektual dan juga memiliki nilai sikap yang baik, contohya saat guru mengajarkan bagaimananya caranya bersikap pada pengemis, pemulung, orang tua, dan lain sebagainya. Guru pun dapat memberikan praktek melalui contoh dalam kehidupan sehari-hari. Dalam lingkungan masyarakat orang tua yang harus menjadi contoh bagi anaknya, tanamkan ilmu agama dan moral dari anak berusia dini, serta berikan perhatian dan penjelasan yang ringan mengenai akhlaq manusia yang baik, dan kemukakan beberapa contoh suri tauladan seperti akhlaq Nabi Muhammad SAW. Orang tua juga memberikan contoh praktek bersikap yang baik didepan anak-anaknya, agar anak bangga dan mencontohnya.
       Ketiga, Pembentukan sikap bukan untuk dinilai akan tetapi diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, apabila pembentukan sikap yang dilakukan guru dan orang tua serta lingkungan berpengaruh baik pada anak maka kehidupan anak akan terjamin aman dan jauh dari kekacauan. Sebaliknya bila pembentukan sikap kurang optimal pada anak maka perilaku anak akan mudah tergantikan dengan perilaku yang datang silih berganti, membuat perilaku anak sulit terkontrol dan berakibat buruk bagi anak tersebut.
       Keempat, Pengaruh kemajuan teknologi dapat diatasi dengan pengawasan yang baik dari orang tua dan guru, berikan pengertian bahayanya kemajuan teknologi dengan menggunakan bahasa yang komunikatif tanpa gaya yang memaksa ataupun nada kasar. Kedekatan orang tua dan anak sangat banyak membantu dalam mengotrol sikap anak dalam menerima kemajuan teknologi yang ada, berikan anak kebebasan yang bertanggung jawab, berikan kepercayaan terhadap anak bahwa anak mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk bagi dirinya sendiri.


BAB III

PENUTUP


A.    Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diperoleh dari makali ini adalah :
1.      Strategi  pembelajaran afektif adalah strategi yang bukan hanya bertujuan untuk mencapai pendidikan kognitif saja, akan tetapi juga bertujuan untuk mencapai dimensi yang lainnya. Yaitu sikap dan keterampilan afektif berhubungan dengan volume yang sulit diukur karena menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam, afeksi juga dapat muncul dalam kejadian behavioral yang di akibatkan dari proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Kemampuan aspek afektif berhubungan dengan minat dan sikap yang dapat berupa tanggung jawab, kerja sama, disiplin, komitmen, percaya diri, jujur, menghargai pendapat orang lain dan kemampuan mengendalikan diri. Semua kemampuan ini harus menjadi bagian dari tujuan pembelajaran di sekolah, yang akan di capai melalui kegiatan pembelajaran yang tepat.
2.      Karakteristik strategi pembelajaran afektif, yaitu :
a.         Sikap, merupakan suatu kecenderungan bertindak secara suka atau tidak suka terhadap suatu objek. Berdasarkan nilai yang dianggap baik atau tidak baik. Dengan demikian belajar sikap berarti memperoleh kecenderungan untuk menolak suatu objek.
b.        Minat, menurut buku Bahasa Indonesia (1990:583) minat adalah kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu. Hal penting pada minat adalah intensitasnya, secara umum minat termasuk karakteristik afektif yang memiliki intensitas tinggi.
c.         Konsep Diri, menurut Smith konsep diri merupakan evaluasi yang dilakukan individu terhadap kemampuan dan kelemahan yang dimilikinya. Konsep diri ini penting untuk menentukan jenjang karir peserta didik, yaitu dengan mengetahui kekuatan dan kelemahan diri sendiri, dapat dipilih alternatif karir yang tepat bagi peserta didik serta penting bagi sekolah untuk memberikan motivasi belajar peserta didik dengan tepat.
d.        Nilai, menurut Rokeach manusia belajar menilai suatu objek, aktivitas, dan ide sehingga objek ini menjadi pengatur penting minat, sikap dan kepuasan. Oleh karena itu satuan pendidikan harus membantu peserta didik menemukan dan menguatkan nilai yang bermakna dan signifikan bagi peserta didik untuk memperoleh kebahagiaan personal danj memberi kontribusi positif terhadap masyarakat.
e.         Moral, Menurut kohlberg moral berkaitan dengan perasaan salah satu atau benar terhadap kebahagiaan orang lain atau perasaan terhadap tindakan yang dilakukan diri sendiri. Moral juga sering dikaitkan dengan keyakinan agama seseorang yaitu akan perbuatan yang berdosa dan berpahala. Jadi moral berkaitan dengan prinsip, nilai, dan keyakinan seseorang.
3.    Model-model Pembelajaran afektif adalah sebagai berikut :
1)      Model Konsiderasi, dikembangkan oleh Mc, Paul yang menekankan bahwa model ini merupakan strategi pembelajaran yg dapat membentuk kpribadian . Salah satu implementasinya yakni mengajak siswa untuk memandang permasalahan dari berbagai sudut pandang untuk menambah wawasan agar mereka dapat menimbang sikap tertentu sesuai dengan nilai yang dimilikinya.
2)      Model Pengembangan Kognitif oleh Lawrence KohlBerg, berpendapat bahwa perkembangan manusia terjadi sebagai proses dari restrukturisasi kognitif yang berlangsung secara berangsur-angsur.
3)      Teknik Mengklarifikasi Nilai dapat diartikan sebagai teknik pengajaran untuk membantu siswa dalam mencari dan menentukan suatu nilai yang dianggap baik dalam menghadapi suatu persoalan yang dianggap proses menganalisis nilai yang sudah ada dan tertanam dalam diri siswa.
4.    Kelemahan Pembelajaran Afektif yaitu :
1)      Proses pendidikan sesuai dengan kurikulum yang berlaku cenderung diarahkan untuk pembentukan intelektual. Dengan demikian, keberhasilan proses pendidikan dan proses pembelajaran di sekolah ditentukan oleh kriteria kemampuan intelektual (kemampuan kognitif).
2)      Sulitnya melakukan kontrol karena banyaknya faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan sikap seseorang. Pengembangan kemampuan sikap baik melalui proses pembiasaan maupun modeling bukan hanya ditentukan oleh faktor guru, akan tetapi juga faktor-faktor lain terutama faktor lingkungan.
3)      Keberhasilan pembentukan sikap tidak bisa dievaluasi dengan segera. Berbeda dengan pembentukan aspek kognitif dan aspek keterampilan yang hasilnya dapat diketahui setelah proses pembelajaran berakhir. Maka keberhasilan dari pembentukan sikap baru dapat dilihat pada rentang waktu yang cukup panjang.
4)      Pengaruh kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi yang menyuguhkan aneka pilihan program acara, berdampak pada pembentukan karakter anak. Tidak bisa kita pungkiri, program-program televisi misalnya : yang banyak menayangkan program acara produksi luar yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda, dan banyak ditonton oleh anak-anak, sangat berpengaruh dalam pembentukan sikap dan mental anak.
5.      Cara menanggulangi kelemahan pembelajaran afektif yakni :
1)      Pendidikan yang ada selama ini sesuai dengan kurikulum yang digunakan untuk mengukur kemampuan intelektual anak dari pada kemampuan afektif, akan tetapi kemampuan dalam bersikap pun tidak kalah penting harus dimiliki anak, untuk apa memiliki generasi muda yang pintar akan tetapi perilakunya tidak mencerminkan orang yang memiliki intektual. Pendidikan agama dan kewarganegaraan sampai saat ini merupakan pendidikan yang wajib diberikan pada anak didik, karena dengan pendidikan agama dan moral dapat mengontrol perilaku anak agar tidak cepat terjerumus pada perilaku yang buruk tetapi sangat popular, akibat kemajuan zaman dan teknologi. Kesadaran yang harus dimiliki diri anak yang sangat baik ditanamkan sejak dini adalah sesuatu sikap yang sangat tepat dalam memfilter perilaku anak, anak akan memahami cara berperilaku saat anak mampu membedakan mana sikap yang baik dan mana sikap yang buruk bagi dirinya.
2)      Peran dari guru dan orang tua serta lingkungan sangat menentukan perilaku yang akan dikeluarkan atau dicontoh oleh siswa. Guru mampu memberikan pembelajaran yang intelektual dan juga memiliki nilai sikap yang baik, contohya saat guru mengajarkan bagaimananya caranya bersikap pada pengemis, pemulung, orang tua, dan lain sebagainya. Guru pun dapat memberikan praktek melalui contoh dalam kehidupan sehari-hari. Dalam lingkungan masyarakat orang tua yang harus menjadi contoh bagi anaknya, tanamkan ilmu agama dan moral dari anak berusia dini, serta berikan perhatian dan penjelasan yang ringan mengenai akhlaq manusia yang baik, dan kemukakan beberapa contoh suri tauladan seperti akhlaq Nabi Muhammad SAW. Orang tua juga memberikan contoh praktek bersikap yang baik didepan anak-anaknya, agar anak bangga dan mencontohnya.
3)      Pembentukan sikap bukan untuk dinilai akan tetapi diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, apabila pembentukan sikap yang dilakukan guru dan orang tua serta lingkungan berpengaruh baik pada anak maka kehidupan anak akan terjamin aman dan jauh dari kekacauan. Sebaliknya bila pembentukan sikap kurang optimal pada anak maka perilaku anak akan mudah tergantikan dengan perilaku yang datang silih berganti, membuat perilaku anak sulit terkontrol dan berakibat buruk bagi anak tersebut.
4)      Pengaruh kemajuan teknologi dapat diatasi dengan pengawasan yang baik dari orang tua dan guru, berikan pengertian bahayanya kemajuan teknologi dengan menggunakan bahasa yang komunikatif tanpa gaya yang memaksa ataupun nada kasar. Kedekatan orang tua dan anak sangat banyak membantu dalam mengotrol sikap anak dalam menerima kemajuan teknologi yang ada, berikan anak kebebasan yang bertanggung jawab, berikan kepercayaan terhadap anak bahwa anak mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk bagi dirinya sendiri.
B. Saran
Adapun saran dari kami adalah :
1.      Setiap strategi pembelajaran pasti memiliki keungulan dan kelemahan, oleh karena itu kita sebagai calon guru harus mampu memilih dan menggunakan strategi pembelajaran yang tepat dalam kegiatan pembelajaran.
2.      Kita sebagai calon guru diharapkan mampu memberikan pembelajaran afektif yang dapar menumbuhkan integritas peserta didik kearah yang lebih baik. Agar peserta didik yang terbentuk tidak hanya memiliki inteligensi yang tinggi  namun juga berkepribadian yang baik.



DAFTAR PUSTAKA

Sanjaya, Wina. 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kharisma putra utama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar