MAKALAH
STRATEGI PEMBELAJARAN AFEKTIF
STRATEGI PEMBELAJARAN AFEKTIF
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas
mata kuliah Strategi Pembelajaran dengan dosen pengampu Ibu Dwi Rachmayani,
M.Pd
Disusun Oleh :
Jumiati ( 2013820098 )
PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2014/2015
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME atas limpahan karunia, taufik, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Strategi Pembelajaran Afektif”.
Penyusunan makalah ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang strategi
belajar mengajar untuk meningkatkan pengetahuan tentang Strategi Pembelajaran
bagi calon pendidik.
Dalam
penyusunan makalah ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang
telah membantu baik secara materi maupun moril dalam penyusunan makalah ini.
Penulis
menyadari dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan, sehingga
penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kedepannya.
Semoga makalah ini bermanfaat untuk pembaca.
Jakarta, Oktober 2014
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Strategi
pembelajaran afektif merupakan suatu metode dalam proses pembelajaran yang
menekankan pada nilai dan sikap yang diukur, oleh karena itu menyangkut
kesadaran seorang yang tumbuh dari dalam.
Dalam
pengaplikasian terhadap pembelajaran yang diberikan guru, dalam pemberian
contoh terhadap yang diberikan guru hendaknya siswa difasilitasi dengan
lingkungan yang baik, saya lihat sebagian sekolah, bahwasanya lingkungan
sekitar sekolah tidak nyaman untuk melakukan pembelajaran yang afektif, dan
juga lingkungan masyarakat, maka dari itu pembentukan sikap akan sulit
dilaksanakan.
Misalnya
ketika anak diajarkan tentang keharusan bersifat jujur dan disiplin, maka sifat
tersebut akan sulit diinternalisasi manakala lingkungan diluar sekolah anak
banyak melihat prilaku-prilaku ketidakjujuran dan ketidakdisiplinan. Walaupun
guru sekolah begitu keras menekankan pentingnya sikap tertib berlalu lintas.
Maka
sikap tersebut akan sulit diadopsi oleh anak manakala ia melihat begitu banyak
orang-orang yang melanggar lalu lintas, demikian juga walaupun disekolah
guru-guru menerangkan dan menegaskan perlunya bagi anak untuk berkata sopan dan
halus disertai contoh prilaku guru, akan tetapi sifat itu sulit diterima oleh
anak manakala diluar sekolah begitu banyak manusia yang berkata kasar dan tidak
sopan.
B. Rumusan Masalah
1.
Apakah pengertian dari strategi
pembelajaran afektif ?
2.
Apa saja model-model dari
pembelajaran afektif ?
3.
Apa kelemahan dari pembelajaran
afektif ?
4.
Bagaimana cara menanggulangi
kelemahan dari strategi pembelajaran afektif ?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui pengertian strategi
pembelajaran afektif.
2.
Mengetahui model-model dari
strategi pembelajaran afektif.
3.
Mengetahui kelemahan dari strategi
pembelajaran afektif.
4.
Mengetahui cara menanggulangi
kelemahan strategi pembelajaran afektif.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Strategi Pembelajaran Afektif
Menurut
Sanjaya, (2007:126). Dalam dunia pendidikan, strategi diartikan sebagai
perencanaan yang berisi tentang rangkaian kegiatan yang didesain untuk mencapi
tujuan pendidikan tertentu. sedangkan menurut Kemp (1995) menjelaskan bahwa
strategi pembelajaran adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan
guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien,
dan menurut Dick and Caret (1985) mengartikan strategi pembelajaran adalah
suatu set materi dan prosedur pembelajaran yang digunakan secara bersama-sama
untuk menimbulkan hasil belajar pada siswa.
Strategi Pembelajaran Afektif
memang berbeda dengan strategi pembelajaran kognitif dan keterampilan. Afektif
berhubungan dengan nilai (value), yang sulit diukur, oleh sebab itu menyangkut
kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam diri siswa. Strategi
pembelajaran afektif adalah strategi yang bukan hanya bertujuan untuk mencapai
pendidikan kognitif saja, akan tetai juga bertujuan untuk mencapai dimensi
lainya. Yaitu sikap dan keterampilan afektif berhubungan dengan volume yang
sulit di ukur karena menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam,
afeksi juga dapat muncul dalam kejadian behavioral yang diakibatkan dari proses
pembelajaran yang dilakukan oleh guru.
Dalam batasan tertentu memang afeksi dapat muncul dalam kejadian
behavioral, akan tetapi penilaiannya untuk sampai kepada kesimpulan yang bisa
dipertanggungj awapkan membutuhkan ketelitian dan observasi yang terus menerus,
dan hal ini tidaklah mudah untuk dilakukan. Apabila menilai perubahan sikap
sebagai akibat dari proses pembelajaran yang dilakukan guru disekolah kita
tidak bisa menyimpulkan bahwa sikap anak itu baik, misalnya dilihat dari
kebiasaan bahasa atau sopan santun yang bersangkutan, sebagai akibat dari
proses pembelajaran yang dilakukan guru. Mungkin sikap itu terbentuk oleh
kebiasaan guru dalam keluarga dan lingkungan sekitar.
Strategi pembelajaran
afektif pada umumnya menghadapkan siswa pada situasi yang mengandung konflik
atau situasi yang problematis, dan pengajar dapat membina dalam menyelesaikan
masalah tersebut sesuai dengan tingkat nilai kemampuan masing-masing.
B. Hakikat Pendidikan Nilai dan Sikap
Agar lulusan
pendidikan memiliki integritas pribadi
di bidang keilmuannya secara optimal, disamping menguasai substansi bidang
keilmuan pada sisi kognitif dan psikomotorik, diperlukan pula penguasaan pada
aspek-aspek afektif. Studi tentang pembelajaran untuk aspek-aspek afektif dapat
memberikan kontribusi yang berarti, sekalipun studi ini belum cukup menjamin
terbentuknya integritas pribadi yang ideal. Studi tentang pembelajaran
aspek-aspek afektif tidak bersifat teknis melainkan refleksif, yaitu suatu refleksi tentang nilai-nilai dan atau
tema-tema yang berkaitan dengan perilaku manusia terutama pada pengembangan aspek perasaan, sikap,
nilai dan emosi.
Nilai adalah
suatu konsep yang berada dalam pikiran manusia yang sifatnya tersenbunyi, tidak berada di dalam dunia yang empiris. Nilai berhubungan dengan pandangan seseorang tentang baik dan buruk, indah
dan tidak indah, layak dan tidak layak, adil dan tidak adil, dan lain
sebagainya. Pandangan seseorang tentang senua itu tidak bisa diraba, kita hanya
mungkin dapat mengetahuinya dari perilaku yang bersangkutan. Oleh karena itulah
nilai pada dasarnya standar perilaku, ukuran yang menentukan atau kriteria
seseorang tentang baik dan buruk, indah dan tidak indah, layak dan tidak layak,
adil dan tidak adil, dsb. Sehingga standar itu yang akan mewarnai perilaku
sesorang. Dengan demikian pendidikan nilai pada dasarnya merupakan proses
penanaman nilai kepada peserta didik yang diharapkan, oleh karenanya siswa
dapat berperilaku sesuai dengan pandangan yang dianggapnya baik dan tidak
bertentangan dengan norma-norma yang berlaku.
Sementara itu Douglas Graham (Gulo,
2002) melihat empat faktor yang merupakan dasar kepatuhan seseorang terhadap nilai
tertentu yaitu :
a. Normativist,
biasanya kepatuhan pada norma-norma dan hukum. Selanjutnya dikatakan bahwa kepatuhan ini terdapat dalam tiga bentuk, yaitu :
1)
Kepatuhan pada nilai atau norma itu
sendiri.
2)
Kepatuhan pada proses tanpa memperdulikan
normanya sendiri.
3)
Kepatuhan pada hasilnya atau tujuan
yang diharapkannya dari peraturan itu.
b.
Integralist, yaitu kepatuhan yang
didasarkan kepada kesadaran dengan pertimbangan-pertimbangan yang rasional.
c.
Fenomenalist, yaitu kepatuhan
berdasarkan suara hati atau sekedar basa-basi.
d.
Hedonist, yaitu kepatuhan
berdasarkan kepentingan diri sendiri.
Dari keempat
faktor yang menjadi dasar kepatuhan setiap individual, tentu saja yang kita
harapkan adalah kepatuhan yang bersifat normativist, karena kepatuhan semacam
itu adalah kepatuhan yang didasari kesadaran akan nilai, tanpa memperdulikan
apakah perilaku itu menguntungkan untuk dirinya atau tidak.
Selanjutnya
dalam sumber yang sama dijelaskan, dari empat faktor ini terdapat lima tipe
kepatuhan, yaitu :
a. Otoritarian,
yaitu suatu kepatuhan tanpa reserve atau kepatuhan yang ikut-ikutan.
b. Conformist,
kepatuhan tipe ini mempunyai tiga bentuk, yaitu :
1)
Conformist Directed, yaitu
penyesuaian diri terhadap masyarakat atau orang lain.
2)
Conformist Hedonist, yakni kepatuhan
yang berorientasi pada “untung-rugi”.
3)
Conformist Integral, adalah
kepatuhan yang menyesuaikan kepentingan diri sendiri dan masyarakat.
c. Compulsive
Deviant, yaiut kepatuhan yang tidak konsisten.
d. Hedonik
Psikopatik, yaitu kepatuhan pada kekayaan tanpa memperhitungkan kepentingan
orang lain.
e. Supramoralist,
yaitu kepatuhan karena keyakinan yang tinggi terhadap nilai-nilai moral.
Dalam masyarakat yang cepat berubah
seperti dewasa ini, pendidikan nilai bagi anak merupakan hal yang sangat
penting. Hal ini disebabkan pada era global ini, anak akan dihadapkan pada
banyak pilihan tentang nilai yang mungkin dianggapnya baik. Penukaran dan
pengikisan nilai-nilai suatu masyarakat dewasa ini akan mungkin terjadi secara
terbuka. Nilai-nilai yang dianggap baik oleh suatu kelompok masyarakat bukan
tak mungkin akan menjadi luntur digantikan oleh nilai-nilai baru yang belum
tentu cocok dengan budaya masyarakat.
Komitmen seseorang terhadap suatu
nilai tertentu terjadi melalui pembentukan sikap yakni kecendrungan seseorang
terhadap suatu objek misalnya: jika seseorang berhadapan dengan suatu objek, ia
akan menunjukkan gejala senang atau tidak senang, suka atau tidak suka terhadap
objek tersebut. Gulo (2005) menyimpulkan, tentang nilai sebagai berikut:
§
Nilai tidak bisa diajarkan
tapi diketahui dari penampilannya
§
Pengembangan dominan afektif
pada nilai tidak bisa dipisahkan dari aspek kognitif
§
Masalah nilai adalah masalah
emosional dan karena itu dapat berkembang sehingga bisa dibina
§
Perkembangan nilai atau moral
Sikap merupakan suatu kemampuan internal yang berperanan
sekali dalam mengambil tindakan (action), lebih-lebih apabila terbuka berbagai
kemungkinan untuk bertindak atau tersedia beberapa alternatif (winkel 2004). Pernyataan
senang atau tidak senangnya seseorang terhadap objek yang dihadapinya, akan sangat
dipengaruhi oleh tingkat pemahamannya (aspek kognitif) terhadap objek tersebut.
Oleh karena itu tingkat penalaran (kognitif) terhadap suatu objek dan kemampuan
untuk bertindak terhadapnya (psikomotorik) turut menentukan sikap seseorang
terhadap objek yang bersangkutan.
C. Proses Pembentukan
Sikap
1.
Pola Pembiasaan
Menurut penelitian Watson seorang
psikolog cara belajar sikap yang disebabkan dengan kebiasaan dapat menjadi
dasar penanaman sikap tertentu terhadap suatu objek. Dalam proses pembelajaran
di sekolah, baik secara disadari maupun tidak, guru dapat menanamkan sikap
tertentu kepada siswa melalui proses pembiasaan misalnya, siswa yang setiap
kali menerima perlakuan yang tidak mengenakan dari guru seperti mengejek atau
menyinggung perasaan anak, maka lama-kelamaan akan timbul perasaan kesal dari
anak tersebut yang pada akhirya dia tidak menyukai guru dan mata pelajarannya.
Belajar membentuk sikap melalui
pembiasaan juga dilakukan oleh Skinner melalu teorinya “operant conditioning”
proses pembentukan sikap melalui pembiasaan yang dilakukan Watson berbeda
dengan proses pembiasaan sikap yang dilakukan Skinner. Skinner menekankan pada
proses peneguhan respons anak, dimana setiap kali anak menunjukan prestasi yang
baik diberikan penguatan dengan cara memberikan hadiah atau prilaku yang
menyenangkan.Dari Watson dan Skinner, menurut kelompok kami dapat diambil
kesimpulan bahwa proses pembentukan sikap dengan pola pembiasaan bukan hanya
melalui proses pembiasaan yang dilakukan secara terus menerus melainkan juga
memberikan penguatan sehingga anak akan berusaha dan bersemangat untuk
meningkatkan sikap positifnya.
2.
Modeling
Pembelajaran sikap seseorang yang
dilakukan melalui proses modeling yaitu pembentukan sikap melalui proses
asimilasi atau proses mencontoh. Proses modeling ini adalah proses peniruan
anak terhadap orang lain yang menjadi idolanya atau orang yang dihormatinya
yang dimulai rasa kagum. Salah satu karakteristik anak didik yang sedang
berkembang adalah keinginannya untuk melakukan peniruan (imitasi). Hal yang
ditiru itu adalah perilaku-perilaku yang diperagakan atau didemonstrasikan oleh
orang yang menjadi idolanya. Prinsip peniruan ini yang dimaksud dengan
modeling.
Proses penanaman sikap anak terhadap
suatu objek melalui proses modeling pada mulanya dilakukan secara mencontoh,
namun anak perlu diberi pemahaman mengapa hal itu dilakukan. Misalnya, guru
perlu menjelaskan mengapa kita harus berpakaian bersih atau mengapa kita harus
telaten menjaga dan memelihara tanaman.
D.
Model Strategi Pembelajaran Sikap
Setiap
startegi pembelajaran sikap pada umumnya menghadapkan siswa pada situasi yang
mengandung konflik atau situasi yang problematic. Melalui situasi ini
diharapkan siswa dapat mengambil keputusan berdasarkan nilai yang dianggapnya
baik, dibawah ini disajikan beberapa model strategi pembelajaran pembentukan
sikap:
a.
Model konsiderasi
Model
konsiderasi (the condiration model) dikembangkan oleh Mc.Paul, seorang
humanis, paul menganggap bahwa pembentukan moral tidak sama dengan pengembangan
kognitif yang rasional. Pembelajaran moral siswa menurutnya adalah pembentukan
kepribadian bukan pengembangan intelektual. Oleh sebab itu, model ini
menekankan kepada strategi pembelajaran yang dapat membentuk kepribadian.
Tujuannya
adalah agar siswa menjadi manusia yang memiliki kepedulian terhadap orang lain.
Kebutuhan yang fundamental pada manusia adalah bergaul secara harmonis dengan
orang lain, saling memberi dan menerima dengan penuh rasa cinta dan kasih
sayang. Dengan demikian pembelajaran sikap pada dasarnya adalah membantu anak
agar dapat mengembangkan kemampuan agar bisa hidup bersama secara harmonis,
peduli dan merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain (tepo salero).
Atas
dasar asumsi diatas guru harus menjadi model didalam kelas dalam memperlakukan
setiap siswa dengan rasa hormat, menjauhi sikap otoriter. Guru perlu
menciptakan kebersamaan, saling membantu, saling menghargai dan lain
sebagainya.
Simplementasi
model konsideransi guru dapat mengikuti tahapan pelajaran seperti dibawah ini:
a)
Menghadapkan siswa pada suatu
masalah yang mengandung konflik, yang sering terjadi dalam kehidupan
sehari-hari. Ciptakan situasi “seandainya siswa mengalami masalah tersebut”.
b)
Menyuruh siswa untuk
menganalisis situasi masalah melihat bukan hanya yang tampak, tapi juga yang
tersirat dalam permasalahan tersebut, misalnya perasaan, kebutuhan dan
kepentingan orang lain.
c)
Menyuruh siswa untuk
menuliskan tanggapannya terhadap permasalahan yang dihadapi
d)
Mengajak siswa untuk
menganalisis respon orang lain serta membuat kategori dari setiap respon yang
diberikan siswa
e)
Mendorong siswa merumuskan
akibat atau konsekuensi dari setiap tindakan yang diusulkan siswa.
f)
Mengajak siswa untuk memandang
permasalahan dari berbagai sudut pandang (interdisipliner) untuk menambah
wawasan agar mereka dapat mengimbang sikap tertentu sesuai dengan nilai yang
dimilikinya.
g)
Mendorong siswa agar
merumuskan sendiri tindakan yang harus dilakukan sesuai dengan pilihannya
berdasarkan pertimbangannya sendiri.
b. Model pengembangan kognitif
Model pengembangan kognitif (the cognitive development model)
dikembangkan oleh Lawrence Kohlberg. Model ini banyak diilhami oleh pemikiran
jhon dewey dan jean piaget yang berpendapat bahwa perkembangan manusia terjadi
sebagai proses dari restrukturisasi kognitif yang berlangsung secara
berangsur-angsur menurut urutan tertentu. Menurut Kohlberg, moral manusia itu
berkembang melalui tiga tingkat, dan setiap tingkat terdiri dari dua tahap:
1) Tingkat prakonvensional
Pada tingkat ini setiap individu memandang moral berdasarkan kepentingan
sendiri artinya pertimbangan moral berdasarkan pada pandangannya secara
individual tanpa menghiraukan rumusan dan aturan yang dibuat oleh masyarakat,
pada tingkat para konvensional ini terdiri atas dua tahap:
a. Orientasi Hukum dan Kepatuhan.
Pada tahap ini prilaku anak
didasarkan kepada konsekuensi fisik yang akan terjadi, artinya anak hanya
berpikir bahwa prilaku yang benar itu adalah prilaku byang tidak akan
mengakibatkan hukuman. Dengan demikian setiap peraturan harus dipatuhi agar
tidak menimbulkan konsekuensi negative.
b.
Orientasi Instrument – Relatif
Pada tahap ini prilaku anak didasarkan
kepada rasa “adil” berdasarkan aturan permainan yang telah disepakati.
Dikatakan adil manakala orang membalas prilaku yang dianggap baik. Dengan
demikian prilaku itu didasarkan kepada saling menolong dan saling memberi.
2) Tingkat Konvensional
Pada tahap ini anak mendekati masalah didasarkan pada hubungan individu
masyarakat. Kesadaran dalam diri anak mulai tumbuh bahwa prilaku itu sesuai
dengan norma-norma dan aturan yang berlaku dimasyarakat, dengan demikian
pemecahan masalah itu sesuai dengan norma masyarakat atau tidak. Pada tingkat
konvensional itu mempunyai dua tahap:
a. Keselarasan Interpersonal
Pada tahap ini ditandai dengan setiap
prilaku yang ditampilkan individu yang didorong oleh keinginan untuk memenuhi
harapan orang lain. Kesadaran individu mulai tumbuh bahwa ada orang lain diluar
dirinya untuk berprilaku sesuai dengan harapan. Artinya anak sadar bahwa ada
hubungan antara dirinya dengan orang lain. Dan hubungan itu tidak boleh rusak.
b. Sistem Social dan Kata Hati
Pada tahap ini prilaku individu bukan
berdasarkan pada dorongan untuk memenuhi harapan orang lain yang dihormatinya,
akan tetapi berdasarkan pada tuntutan dan harapan masyarakat, ini berarti telah
terjadi pergeseran dari kesadaran individu kepada keadaran social yang mengatur
prilaku individu.
3)
Tingkat postkonvensional
Pada tingkat ini rilaku individu
berdasarkan pada kepatuhan terhadap norma-norma masyarakat yang berlaku, akan
tetapi didasari oleh adanya kesadaran sesuai dengan nilai-nilai yang
dimilikinya secara individu, seperti pada tingkatan sebelumnya, pada tingkat
ini terdiri juga atas dua tahap:
a.
Kontrak Social
Pada tahap ini prilaku individu
berdasarkan pada kebenaran-kebenaran yang diakui dimasyarakat. Kesadaran
individu untuk berprilaku tumbuh karena kesadaran untuk menerapkan
prinsip-prinsip social. Dengan demikian kewajiban moral dipandang sebagai
kontrak social yang harus dipatuhi bukan sekedar pemenuhan system nilai.
b.
Prinsip Etis yang Universal
Pada tahap terakhir, prilaku
manusia didasrkan pada prinsip-prinsip universal. Segala macam tindakan bukan
hanya didasarkansegala kontrak social yang harus dipatuhi, akan tetapi
didasarkan kepad suatu kewajiban sebagai manusia. Setiap individu wajib
menolong orang lain. Apaka orang itu sebagai orang yang kita benci ataupun
tidak, apakah orang itu kita cintai atau tidak,, orang yang kita suka atau
tidak, pertolongan yang diberikan bukan didasarkan pada kesadaran yang bersifat
universal.
Sesuai dengan prinsip bahwa moral
terjadi secara bertahap, maka strategi pembelajaran model kohleberg diarahkan
untuk membantu agar setiap individu meningkat dalam perkembangan moralnya.
c. Teknik Mengklarifikasi Nilai
Teknik mengklasifikasi nilai (value
clarivication technique) atau sering disingkat VCT dapat diartikan sebagai
teknik pengajaran untuk membantu siswa dalam mencari dan menentukan status
nilai yang dianggap baik dalam menghadapi suatu persoalan melalui proses
menganalisis nilai yang sudah ada dan tertanam dalam diri siswa.
Kelemahan yang sering terjadi
dalam proses pembelajaran nilai atau sikap adalah poses pembelajaran yang
dilakukan secara langsung oleh guru, artinya guru menanamkan nilai-nilai yang
dianggapnya baik tanpa memperhatikan nilai yang sudah tertanam dalam diri
siswa, akibatnya sering terjadi benturan dan konflik dalam diri siwa karena
ketidak cocokan antara nilai lama yang sudah terbentuk dengan nilai baru yang
ditanamkan oleh guru.
Siswa sering sering mengalami
kesulitan dalam menyelaraskan nilai lama yang sudah terbentuk dengan nilai baru
yang ditanamkan oleh guru. Salah satu karakteristik VCT sebagai suatu model
dalam pembelajaran siap adalah proses penamaan nilai yang dilakukan melalui
proses analisis nilai yang sudah ada. Sebelumnya dalam diri siswa kemudian
menyelaraskannya dengan nilai-nilai baru hendak ditanamkan.
VCT sebagai
suatu model dalam strategi pembelajaran moral VCT bertujuan:
1)
Untuk mengukur atau mengetahui
tingkat kesadaran siswa terhadap nilai.
2)
Membina kesadaran siswa
tentang nilai-nilai yang dimilikinya, baik tingkatan maupun sifatnya (positif
atau negatif) untuk kemudian dibina kearah peningkatan dan pembetulannya.
3)
Untuk menanamkan nilai-nilai
tertentu kepada siswa melalui cara yang rasional diterima siswa, sehingga pada
akhirnya nilai tersebut menjadi milik siswa.
4)
Melatih siswa bagaimana cara
menilai, menerima serta mengambil keputusan terhadap suatu persoalan dalam
hubungannya dengan kehidupan sehari-hari dimasyarakat.
John
jarolimex (1974) menjelaskan langkah pembelajaran dengan VCT dalam tujuh tahap
yang dibagi kedalam tiga tingkatan, setiap tingkatan dijelaskan dalam tahap
ini.:
a)
Kebebasan memilih
Pada tingkatan ini terdapat tiga tahap:
1.
Memilih secara bebas, artinya
kesempatan untuk menentukan pilihan yang menurutnya baik, nilai yang dipaksakan
tidak menjadi miliknya secara penuh.
2.
Memilih dari beberapa
alternative, artinya untuk menentukan pemilihan dari beberapa alternative
pilihan secara bebas.
3.
Memilih setelah dilakukan
analisis pertimbangan konsekuensi yang akan timbul sebagai akibat pilihannya.
b)
Menghargai
Terdiri dari dua tahap pembelajaran:
1.
Adanya perasaan senang dan
bangga dengan nilai yang menjadi pilihannya, sehingga nilai tersebut akan
menjadi bagian integral dari dirinya.
2.
Menegaskan nilai yang sudah
menjadi bagian integral dalam dirinya didepan umum, artinya bila kita
menganggap nilai itu suatu pilihan, maka kita akan berani dengan penuh
kesadaran untuk menunjukkan didepan orang lain.
c)
Berbuat
Terdiri atas:
1.
Kemauan dan kemampuan untuk
mencoba melaksanakannya.
2.
Mengulangi prilaku sesuai
dengan nilai pilihannya, artinya nilai yang menjadi pilihan itu harus tercermin
dalam kehidupan sehari-hari.
VCT
menekankan bagaimana sebenarnya seorang membangun nilai yang menurut
anggapannya baik, pada gilirannya nilai-nilai tersebut akan mewarnai prilakunya
dalam kehidupan sehari-hari dimasyarakat. Dalam praktis pembelajaran, VCT
dikembangkan melalui proses dialog antara guru dan siswa, proses tersebut
hendaknya berlangsung dalam suasana langsung dan terbuka, sehingga setiap siswa
dapat mengungkapkan secara bebas perasaannya, beberapa yang harus diperhatikan
guru dalam mengimplementasikan VCT melalui proses dialog:
a.
Hindari penyampaian pesan
melalui proses pemberian nasehat, yaitu pemberian pesan-pesan moral yang
menuntut guru dianggap baik
b.
Jangan memaksa siswa untuk
memberi respon tertentu apabila memang siswa menghendakinya
c.
Usahakan dialog dilakukan
secara bebas dan terbuka, sehingga siswa akan mengungkapkan perasaannya secara
jujur dan apa adanya
d.
Dialog dilaksanakan kepada
individu, bukan kepada kelompok kelas
e.
Hindari respon yang dapat
menyebabkan siswa terpojok sehingga ia menjadi despensif
f.
Tidak mendesak siswa pada
pendirian tertentu
g.
Jangan mengorek alasan siswa
lebih dalam
E. Kesulitan dalam Pembelajaran Afektif
Disamping aspek pembentukan kemampuan intelektual
untuk membentuk kecerdasan peserta didik dan pembentukan keterampilan untuk
mengembangkan kompetensi agar peserta didik memiliki kemampuan motorik, maka
pembentukan sikap peserta didik merupakan aspek yang tidak kalah pentingnya.
Dalam proses pendidikan disekolah proses pembelajaran sikap kadang-kadang
terabaikan. Hal ini disebabkanoleh proses pembelajaran dan pembentukan akhlak
memiliki beberapa kesulitan.
Pertama,
Proses pendidikan sesuai dengan kurikulum yang berlaku cenderung diarahkan
untuk pembentukan intelektual. Sehingga keberhasilan proses pendidikan dan
pembelajaran ditentukan oleh kriteria kemampuan kognitif. Akibatnya upaya guru
diarahkan kepada bagaimana agar anak dapat mengetahui sejumlah pengetahuan
sesuai dengan standard kurikulum. Hal ini dapat dilihat dari berbagai macam
bentuk evaluasi yang dilakukan baik evaluasi tingkat sekolah, tingkat wilayah
maupun tingkat nasional diarahkan kepada kemampuan anak dalam menguasai materi
pelajaran. contohnya pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan yang
seharusnya diarahkan kepada tingkat pembentukan moral dan sikap, tapi karena
keberhasilannya diukur dari kemampuan intelektual maka evaluasi pun lebih
banyak mengukur kemampuan penguasaan materi pelajaran dalam bentuk kognitif.
Kedua,
sulitnya melakukan kontrol karena banyak faktor yang dapat mempengaruhi
perkembangan sikap seseorang. Pengembangan kemampuan sikap baik melalui proses
pembiasaan maupun modeling bukan hanya ditentukan oleh faktor guru tetapi juga
faktor lain, terutama faktor lingkungan.
Ketiga,
keberhasilan pembentukan sikap tidak dapat dievaluasi dengan segera. Berbeda dengan
pembentukan aspek kognitif dan aspek keterampilan yang hasilnya dapat diketahui
setelah proses pembelajaran berakhir. Sementara keberhasilan pembentukan sikap
dapat dilihat dengan rentan waktu yang cukup panjang karena sikap berhubungan
dengan internalisasi nilai yang memerlukan proses yang lama.
Keempat,
pengaruh kemajuan tekhnologi, khususnya kemajuan tekhnologi informasi yang
menyuguhkan aneka pilihan program acara, berdampak pada pembentukan karakter
anak. Tidak bisa kita pungkiri, program televisi , misalnya yang banyak
menanyangkan program acara produksi luar yang memiliki latarbelakang budaya
yang berbeda. Maka secara perlahan tapi pasti budaya asing yang belum tentu
cocok dengan budaya lokal merembes dalam setiap relung kehidupan, menggeser nilai-nilai
lokal sebagai nilai luhur yang mestinya ditumbuhkembangkan, sehingga pada
akhirnya membentuk norma baru yang mungkin tidak sesuai dengan nilai dan norma
masyarakat yang berlaku.
F. Cara mengatasi Kesulitan dalam Pembelajaran Afektif
Dalam mengatasi
kesulitan-kesulitan pembelajaran afektif diatas terdapat beberapa cara yang
dapat diterapkan agar kesulitan-kesulitan tyersebut dapat diminimalisir dan
bahkan diatasi dengan baik. Cara-cara mengatasinya adalah :
Pertama,
Pendidikan yang ada selama ini sesuai dengan kurikulum yang digunakan untuk
mengukur kemampuan intelektual anak dari pada kemampuan afektif, akan tetapi
kemampuan dalam bersikap pun tidak kalah penting harus dimiliki anak, untuk apa
memiliki generasi muda yang pintar akan tetapi perilakunya tidak mencerminkan
orang yang memiliki intektual. Pendidikan agama dan kewarganegaraan sampai saat
ini merupakan pendidikan yang wajib diberikan pada anak didik, karena dengan
pendidikan agama dan moral dapat mengontrol perilaku anak agar tidak cepat
terjerumus pada perilaku yang buruk tetapi sangat popular, akibat kemajuan
zaman dan teknologi. Kesadaran yang harus dimiliki diri anak yang sangat baik
ditanamkan sejak dini adalah sesuatu sikap yang sangat tepat dalam memfilter
perilaku anak, anak akan memahami cara berperilaku saat anak mampu membedakan
mana sikap yang baik dan mana sikap yang buruk bagi dirinya.
Kedua, Peran
dari guru dan orang tua serta lingkungan sangat menentukan perilaku yang akan
dikeluarkan atau dicontoh oleh siswa. Guru mampu memberikan pembelajaran yang
intelektual dan juga memiliki nilai sikap yang baik, contohya saat guru
mengajarkan bagaimananya caranya bersikap pada pengemis, pemulung, orang tua,
dan lain sebagainya. Guru pun dapat memberikan praktek melalui contoh dalam
kehidupan sehari-hari. Dalam lingkungan masyarakat orang tua yang harus menjadi
contoh bagi anaknya, tanamkan ilmu agama dan moral dari anak berusia dini,
serta berikan perhatian dan penjelasan yang ringan mengenai akhlaq manusia yang
baik, dan kemukakan beberapa contoh suri tauladan seperti akhlaq Nabi Muhammad
SAW. Orang tua juga memberikan contoh praktek bersikap yang baik didepan
anak-anaknya, agar anak bangga dan mencontohnya.
Ketiga,
Pembentukan sikap bukan untuk dinilai akan tetapi diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari, apabila pembentukan sikap yang dilakukan guru dan orang tua serta
lingkungan berpengaruh baik pada anak maka kehidupan anak akan terjamin aman
dan jauh dari kekacauan. Sebaliknya bila pembentukan sikap kurang optimal pada
anak maka perilaku anak akan mudah tergantikan dengan perilaku yang datang
silih berganti, membuat perilaku anak sulit terkontrol dan berakibat buruk bagi
anak tersebut.
Keempat,
Pengaruh kemajuan teknologi dapat diatasi dengan pengawasan yang baik dari
orang tua dan guru, berikan pengertian bahayanya kemajuan teknologi dengan
menggunakan bahasa yang komunikatif tanpa gaya yang memaksa ataupun nada kasar.
Kedekatan orang tua dan anak sangat banyak membantu dalam mengotrol sikap anak
dalam menerima kemajuan teknologi yang ada, berikan anak kebebasan yang
bertanggung jawab, berikan kepercayaan terhadap anak bahwa anak mampu
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk bagi dirinya sendiri.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diperoleh dari makali ini adalah :
1.
Strategi pembelajaran afektif
adalah strategi yang bukan hanya bertujuan untuk mencapai
pendidikan kognitif saja, akan tetapi juga bertujuan untuk mencapai dimensi
yang lainnya. Yaitu sikap dan keterampilan afektif berhubungan dengan volume
yang sulit diukur karena menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam,
afeksi juga dapat muncul dalam kejadian behavioral yang di akibatkan dari
proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Kemampuan aspek afektif
berhubungan dengan minat dan sikap yang dapat berupa tanggung jawab, kerja
sama, disiplin, komitmen, percaya diri, jujur, menghargai pendapat orang lain
dan kemampuan mengendalikan diri. Semua kemampuan ini harus menjadi bagian dari
tujuan pembelajaran di sekolah, yang akan di capai melalui kegiatan
pembelajaran yang tepat.
2.
Karakteristik strategi pembelajaran afektif, yaitu :
a.
Sikap, merupakan suatu kecenderungan bertindak secara suka atau tidak
suka terhadap suatu objek. Berdasarkan nilai yang dianggap baik atau tidak
baik. Dengan demikian belajar sikap berarti memperoleh kecenderungan untuk
menolak suatu objek.
b.
Minat, menurut buku Bahasa Indonesia (1990:583) minat adalah
kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu. Hal penting pada minat adalah
intensitasnya, secara umum minat termasuk karakteristik afektif yang memiliki
intensitas tinggi.
c.
Konsep Diri, menurut Smith konsep diri merupakan evaluasi yang dilakukan
individu terhadap kemampuan dan kelemahan yang dimilikinya. Konsep diri ini
penting untuk menentukan jenjang karir peserta didik, yaitu dengan mengetahui
kekuatan dan kelemahan diri sendiri, dapat dipilih alternatif karir yang tepat
bagi peserta didik serta penting bagi sekolah untuk memberikan motivasi belajar
peserta didik dengan tepat.
d.
Nilai, menurut Rokeach manusia belajar menilai suatu objek, aktivitas,
dan ide sehingga objek ini menjadi pengatur penting minat, sikap dan kepuasan.
Oleh karena itu satuan pendidikan harus membantu peserta didik menemukan dan
menguatkan nilai yang bermakna dan signifikan bagi peserta didik untuk
memperoleh kebahagiaan personal danj memberi kontribusi positif terhadap
masyarakat.
e.
Moral, Menurut kohlberg moral berkaitan dengan perasaan salah satu atau
benar terhadap kebahagiaan orang lain atau perasaan terhadap tindakan yang
dilakukan diri sendiri. Moral juga sering dikaitkan dengan keyakinan agama
seseorang yaitu akan perbuatan yang berdosa dan berpahala. Jadi moral berkaitan
dengan prinsip, nilai, dan keyakinan seseorang.
3.
Model-model Pembelajaran afektif adalah sebagai berikut :
1)
Model
Konsiderasi, dikembangkan oleh Mc, Paul yang menekankan bahwa model ini
merupakan strategi pembelajaran yg dapat membentuk kpribadian . Salah satu
implementasinya yakni mengajak siswa untuk memandang permasalahan dari berbagai
sudut pandang untuk menambah wawasan agar mereka dapat menimbang sikap tertentu
sesuai dengan nilai yang dimilikinya.
2)
Model
Pengembangan Kognitif oleh Lawrence KohlBerg, berpendapat bahwa perkembangan
manusia terjadi sebagai proses dari restrukturisasi kognitif yang berlangsung
secara berangsur-angsur.
3)
Teknik
Mengklarifikasi Nilai dapat diartikan sebagai teknik pengajaran untuk membantu
siswa dalam mencari dan menentukan suatu nilai yang dianggap baik dalam
menghadapi suatu persoalan yang dianggap proses menganalisis nilai yang sudah
ada dan tertanam dalam diri siswa.
4.
Kelemahan
Pembelajaran Afektif yaitu :
1)
Proses pendidikan sesuai dengan
kurikulum yang berlaku cenderung diarahkan untuk pembentukan intelektual.
Dengan demikian, keberhasilan proses pendidikan dan proses pembelajaran di
sekolah ditentukan oleh kriteria kemampuan intelektual (kemampuan kognitif).
2)
Sulitnya melakukan kontrol karena
banyaknya faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan sikap seseorang.
Pengembangan kemampuan sikap baik melalui proses pembiasaan maupun modeling
bukan hanya ditentukan oleh faktor guru, akan tetapi juga faktor-faktor lain
terutama faktor lingkungan.
3)
Keberhasilan pembentukan sikap tidak
bisa dievaluasi dengan segera. Berbeda dengan pembentukan aspek kognitif dan
aspek keterampilan yang hasilnya dapat diketahui setelah proses pembelajaran
berakhir. Maka keberhasilan dari pembentukan sikap baru dapat dilihat pada
rentang waktu yang cukup panjang.
4)
Pengaruh kemajuan teknologi,
khususnya teknologi informasi yang menyuguhkan aneka pilihan program acara,
berdampak pada pembentukan karakter anak. Tidak bisa kita pungkiri,
program-program televisi misalnya : yang banyak menayangkan program acara
produksi luar yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda, dan banyak
ditonton oleh anak-anak, sangat berpengaruh dalam pembentukan sikap dan mental
anak.
5.
Cara
menanggulangi kelemahan pembelajaran afektif yakni :
1)
Pendidikan yang ada selama ini
sesuai dengan kurikulum yang digunakan untuk mengukur kemampuan intelektual
anak dari pada kemampuan afektif, akan tetapi kemampuan dalam bersikap pun
tidak kalah penting harus dimiliki anak, untuk apa memiliki generasi muda yang
pintar akan tetapi perilakunya tidak mencerminkan orang yang memiliki
intektual. Pendidikan agama dan kewarganegaraan sampai saat ini merupakan
pendidikan yang wajib diberikan pada anak didik, karena dengan pendidikan agama
dan moral dapat mengontrol perilaku anak agar tidak cepat terjerumus pada
perilaku yang buruk tetapi sangat popular, akibat kemajuan zaman dan teknologi.
Kesadaran yang harus dimiliki diri anak yang sangat baik ditanamkan sejak dini
adalah sesuatu sikap yang sangat tepat dalam memfilter perilaku anak, anak akan
memahami cara berperilaku saat anak mampu membedakan mana sikap yang baik dan
mana sikap yang buruk bagi dirinya.
2)
Peran dari guru dan orang tua serta
lingkungan sangat menentukan perilaku yang akan dikeluarkan atau dicontoh oleh
siswa. Guru mampu memberikan pembelajaran yang intelektual dan juga memiliki
nilai sikap yang baik, contohya saat guru mengajarkan bagaimananya caranya
bersikap pada pengemis, pemulung, orang tua, dan lain sebagainya. Guru pun
dapat memberikan praktek melalui contoh dalam kehidupan sehari-hari. Dalam
lingkungan masyarakat orang tua yang harus menjadi contoh bagi anaknya,
tanamkan ilmu agama dan moral dari anak berusia dini, serta berikan perhatian
dan penjelasan yang ringan mengenai akhlaq manusia yang baik, dan kemukakan
beberapa contoh suri tauladan seperti akhlaq Nabi Muhammad SAW. Orang tua juga
memberikan contoh praktek bersikap yang baik didepan anak-anaknya, agar anak
bangga dan mencontohnya.
3)
Pembentukan sikap bukan untuk
dinilai akan tetapi diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, apabila pembentukan
sikap yang dilakukan guru dan orang tua serta lingkungan berpengaruh baik pada
anak maka kehidupan anak akan terjamin aman dan jauh dari kekacauan. Sebaliknya
bila pembentukan sikap kurang optimal pada anak maka perilaku anak akan mudah
tergantikan dengan perilaku yang datang silih berganti, membuat perilaku anak
sulit terkontrol dan berakibat buruk bagi anak tersebut.
4)
Pengaruh kemajuan teknologi dapat
diatasi dengan pengawasan yang baik dari orang tua dan guru, berikan pengertian
bahayanya kemajuan teknologi dengan menggunakan bahasa yang komunikatif tanpa
gaya yang memaksa ataupun nada kasar. Kedekatan orang tua dan anak sangat
banyak membantu dalam mengotrol sikap anak dalam menerima kemajuan teknologi
yang ada, berikan anak kebebasan yang bertanggung jawab, berikan kepercayaan
terhadap anak bahwa anak mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk
bagi dirinya sendiri.
B. Saran
Adapun saran
dari kami adalah :
1.
Setiap strategi pembelajaran pasti
memiliki keungulan dan kelemahan, oleh karena itu kita sebagai calon guru harus
mampu memilih dan menggunakan strategi pembelajaran yang tepat dalam kegiatan
pembelajaran.
2.
Kita sebagai calon guru diharapkan
mampu memberikan pembelajaran afektif yang dapar menumbuhkan integritas peserta
didik kearah yang lebih baik. Agar peserta didik yang terbentuk tidak hanya
memiliki inteligensi yang tinggi namun juga
berkepribadian yang baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Sanjaya, Wina. 2006. Strategi Pembelajaran
Berorientasi Standar Proses
Pendidikan. Jakarta:
Kharisma putra utama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar