Minggu, 07 Juni 2015

Pendidikan Di Papua, Masalah Serius



PENDIDIKAN DI PAPUA, MASALAH SERIUS

 

      • Salah satu masalah dalam pendidikan di Papua adalah soal tenaga Guru.


Entah sampai kapan masalah pendidikan di Papua yang sangat serius bisa terurai. Sejauh ini tanda-tanda ke arah itu belum tampak. Persoalan-persoalan yang mendasar masih membelit anak-anak Papua, termasuk yang di sekolah dasar. Kondisinya serba terbatas, terutama untuk daerah-daerah pedalaman. Layanan pendidikan belum merata. Pertanyaanya: kapan Papua akan merdeka dari kebodohan? Anak-anak Papua boleh jadi merdeka dari kebodohan jika ada kondisi minimal yang memungkinkan mereka untuk belajar.
Kisah Klasik
Cerita-cerita tentang gedung sekolah yang reyot, guru yang sedikit, dan tanpa buku-buku pelajaran di pedalaman sudah usang. Kisah seperti ini dimiliki bukan saja oleh generasi sekarang. Generasi-generasi sebelumnya sudah lebih dulu mengalami.
Tidak banyak yang berbeda dari foto-foto gedung sekolah dasar di pedalaman Papua pada tahun 1980-an dan yang ada sekarang ini. Boleh jadi sepanjang sejarah sekolah-sekolah di pedalaman belum banyak yang memiliki perpustakaan. Profil sekilas murid-murid pun sama: hanya sedikit yang bersepatu, seragam  yang serba kumal, dan lusuh. Jumlah guru tidak bertambah secara signifikan. Bahkan, sekolah-sekolah di pedalaman Papua pada umumnya kekurangan guru.
Boleh jadi masih ada kesamaan-kesamaan yang lain: kekurangan gizi yang menyebabkan hambatan kesehatan, kesulitan membaca dan berhitung karena tidak ada alat bantu ajar, kesulitan mengakses sekolah dari kampung, dll. Boleh diduga juga bahwa ada anak-anak usia sekolah yang meninggal duniadata tentang hal ini akan sangat berdampak terhadap kebijakan pendidikan di Papuadengan berbagai sebab: penyakit, kecelakaan, dll.
Kisah-kisah suram pendidikan pada umumnya dan pendidikan dasar ini masih bisa lebih panjang. Pertanyaannya: mengapa kondisi pada puluhan tahun lalu tidak banyak berbeda dengan kondisi sekarang ini? Dengan lain kata, mengapa pembangunan pendidikan di Papua terkesan jalan di tempat? Kini dapat dibayangkan, anak-anak Papua akan tersingkir dari kancah dunia yang berkembang pesat.
Harus diakui, perkembangan positif dunia pendidikan di Papua tidak cukup kentara. Ini tentu masalah yang tidak kecil. Gelombang kekecewaan terhadap pendidikan di Papua tidak pernah surut. Akan tetapi, sejauh ini pun masalah belum tampak akan terurai. Kisah klasik suramnya pendidikan di Papua masih terus berlanjut, entah hingga kapan. Kebutuhan anak-anak Papua akan pendidikan dan pengetahuan masih belum tercukupi.
Masalah Besar
Penyelenggaraan pendidikan idealnya membantu anak-anak peserta didik membuka akses mereka terhadap pengetahuan, yang membantu mereka untuk bertumbuh dan berkembang dalam banyak aspek hidup mereka. Pengetahuan menyumbang pada derajat hidup anak-anak Papua. Artinya, pengetahuan membantu mereka untuk menumbuh-kembangkan hakikat kemanusiaan mereka; mengenal dan menyerap nilai-nilai universal. Pengetahuan akan turut membentuk perspektif hidup anak-anak, akan membangun cara mereka menghayati hidup (way of life). Pendidikan membantu anak-anak didik untuk memiliki mata-budi dan mata-hati yang lebih peka sehingga bisa memandang lebih luas dan merasa lebih dalam. Pendidikan menggerakkan anak-anak untuk merdeka, untuk membangun kebebasaannya sendiri (mandiri) dan kebebasan bersama yang lain.
Dalam kenyataan, cukup banyak anak Papua tidak mengenyam pendidikan yang memerdekakan ini. Masalah-masalah besar membelenggu pendidikan di Papua dan mengancam potensi anak-anak Papua untuk tumbuh sebagai insan-insan yang merdeka.
Pertama, semangat pendidikan yang membebaskan belum menjadi semangat pendidikan kita. Semangat pendidikan ini antara lain ditandai dengan pemberian ruang utama untuk pengetahuan lokal. Peserta didik dibimbing untuk mengenali dirinya: sejarahnya, tanahnya, silsilahnya, dan segala harta pengetahuan yang ada paling dekat dengan mereka. Semangat pembebasan diawali dengan mengenal diri sendiri dan perlahan mengenal yang lain. Dengan demikian, anak-anak pun pada masanya akan mengerti lebih utuh diri mereka. Tanpa ruang luas untuk mengerti diri sendiri pendidikan bagi anak-anak Papua, anak-anak Papua lebih cenderung menjadi orang lain.
Semangat pendidikan yang membebaskan ini menggerakkan peserta didik untuk menyadari masyarakatnya. Kesadaran ini pada saatnya bertransformasi menjadi rasa cinta yang mendalam (compassion) terhadap tanah dan bangsa. Pendidikan bukan hanya soal mengalirkan pengetahuan tetapi juga soal mengonstruksi paradigma-paradigma dan membangun nilai.
Inilah masalah terbesar pendidikan di Papua: tidak menggerakkan insan-insan muda untuk merdeka!
Kedua, tidak berkembang kultur pendidikan yang sehat. Boleh diakui atau disangkal, budaya pendidikan di Papua sedang (di)rusak oleh praktik-praktik berulang yang semangatnya bertentangan dengan jiwa pendidikan ideal.
Dalam percakapan keseharian, sekolah dikesankan sebagai lembaga pencetak ijazahselembar kertas yang berfungsi sebagai legitimasi untuk menempati jabatan publik. Ijazah jauh lebih bernilai daripada seluruh proses belajar sehingga seseorang pantas diberi ijazah. Bahkan, merebak pula berbagai praktik transaksi tidak sehat demi mendapatkan ijazah.
Pemberian ijazah dengan mengabaikan prasyarat-prasyarat vital, yaitu proses pendidikan yang sehat, merusak kultur pendidikan sekaligus membangun budaya bohong. Praktik ini mengosongkan proses pendidikan dari makna yang sesungguhnya. Pada saat yang sama, praktik seperti ini menunjukkan dengan sangat jelas bahwa proses pendidikan tidak memiliki korelasi langsung dengan ijazah. Sudah tentu, jika praktik ini terus berulang, masyarakat dan anak-anak pun akan bertanya-tanya: sekolah untuk apa? Masyarakat akan terperangkap dalam krisis pendidikan yang kian lama, kian parah.
Ketiga, belum terbentuk masyarakat melek pendidikan. Masalah pendidikan di Papua antara lain menjadi berlarut-larut karena masyakarat melek pendidikan belum sepenuhnya terbentuk. Bertautan dengan praktik yang sudah disinggung, oleh sebagian masyarakat sekolah masih belum sepenuhnya dipahami sebagai lembaga pendidikan. Sekolah lebih sebagai lembaga pemberi gelar. Bukan mustahil perilaku masyarakat yang haus gelar ini bisa memanipulasi sekolah dan membajak sekolah untuk tidak mengemban tugas sejatinya.
Secara kasar, sekolah ditekan agar memainkan peran utama menjual gelar sambil menyelenggarakan pendidikan yang pura-pura. Artinya, pendidikan yang diselenggarakan dibajak untuk sebatas menjadi kedok belaka. Tentu saja, perilaku ini tidak bermanfaat bagi anak-anak belia Papua selain menjadi contoh kasus yang buruk dan merongrong hasrat mereka akan pendidikan. Pendidikan tidak bisa direduksi menjadi proses meluluskan atau memberi ijazah belaka.
Seandainya praktik-praktik yang pada hakikatnya malah melawan pendidikan ini terus lestari di Papuademi alasan apa punbukankah ini kontraproduktif untuk masyarakat Papua sekarang dan generasi yang akan datang? Anak-anak belia Papua belum akan mengenyam pendidikan selama praktik ini masih lestari dan menjadi jalan pintas untuk mendapatkan pengakuan sebagai insan berpendidikan.
Solusinya?
Jelaslah bahwa langkah pertama dan paling penting untuk mengatasi perkara pendidikan di Papua adalah konsep pokok pendidikan Papua yang komprehensif, yang secara matang dipikirkan dan didiskusikan. Cukup banyak ahli dari berbagi disiplin untuk dimintai sumbangan pemikiran. Pendasaran filosofis untuk pendidikan mesti ada.
Filosofi pendidikan Papua yang matang dan diproyeksikan untuk menjawab permasalahan kontemporer dan masa depan akan memberikan pendasaran yang kuat untuk menyusun perencanaan pendidikan di Papua. Tanpa pendasaran yang kokoh, pendidikan di Papua kehilangan visi yang tegassekadar menjadi kumpulan aksi-aksi yang berdiri sendiri dan lemah dalam hal ikatan dengan konteks Papua dewasa  ini serta justeru kontraproduktif terhadap masyarakat Papua. Yang paling diperlukan sekarang ini adalah pemikiran yang kokoh dan sangat relevan dengan persoalan pendidikan di Papua. Jika pemikiran ini sudah ada, solusi-solusi yang lain akan dengan sendirinya muncul.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar